Jumat, 28 Maret 2014

(Tidak) Semua menyukai karyamu


Orang di tempat ini sepertinya sedang terhipnotis. Hipnotis yang kemudian menyebar seperti virus yang tak mampu dicegah. Dia yang berjalan dengan cekikikan pun sedang mengayunkan sebuah novel dengan judul yang sedang menjadi virus. Lain lagi dengan ia yang jelas-jelas aku tahu sangat malas membaca novel, butuh banyak waktu katanya pun merayu untuk dipinjami. Orang-orang mulai latah untuk mengagumi sosok penulis buku ini. 
Suatu ketika kawanku bertanya. “Kamu suka buku ini?” dengan tak acuh ku jawab “Ya. Tetapi tidak terlalu, aku punya selera sendiri”. Dia tampak tersentak mendengar ucapanku. Aku memang kurang menyukai gaya penuturan penulis yang dia maksud. Jelas ku katakan pada kawanku itu supaya tak memaksakan diri bahwa aku pura-pura terhipnotis juga.
Aku pernah membaca karyanya. Tetapi tidak sampai pada halaman ke lima aku sudah menutupnya. Enathlah, hal apa yang membuatku bersikap demikian. Gaya penuturan yang digunakannya pun tidak jauh berbeda dengan penulis favoritku. Hanya saja, tidak ada yang bisa aku hadirkan untuk membuat sebuah makna dari karyanya. Rasa, barangkali itu tidak aku jumpai dalam karya penulis itu.
Dalam sebuah tulisan bagus perlu rasa. Menulis bukan sekedar huruf yang dirangkai berjajar kemudian meliukkan majas. Menulis butuh seni, menulis butuh banyak memahami. Memahami pun tidak sekedar satu dua karya kemudian ketika kau menulis memaksa orang lain menyukainya. Kau tahu mengapa aku tidak larut hipnotis itu? karena aku punya pemahaman dan rasa tersendiri. 
Aku memang tidak pandai menulis. Aku masih belajar, belajar dari hal sederhana. Itu sebabnya aku mulai membaca banyak buku dengan berbeda gaya penuturan, alur maupun genrenya. Tidak masalah bagiku, dengan begitu aku lebih mudah memahami diriku. Apa yang aku suka dan apa yang aku mau kembangkan.
Di koridor kau sempat bergaung bahwa aku juga ingin seperti dia (baca: penulis). Bahkan aku sudah mulai membuatnya dari sekarang. Aku yang berjarak 3 meter dari tempatmu berdiri hanya bisa mengerjap dan kemudian memulih diam. 
Kalau menulis hanya sekedar meliukkan kata tanpa memperhatikan makna dan keteraturan apa bisa ku sebut karya yang bagus? Jangan paksa aku memujimu. Terlalu sederhana bukan berarti menghilangkan makna, kata yang sulit dipahami bukan berarti karyamu bagus. 
Aku tidak meremehkan kemampuan siapapun, tetapi aku butuh waktu dan karya untuk meyakinkanku. Aku berbaik sangka, aku tidak ingin membuatmu kecewa lantaran aku bukan barisan orang yang memujimu.
Aku berharap mereka juga mengenal Sapardi, N.H Dini, Buya Hamka, yangberjaya pada zamannya pun zaman sekarang. Aku bukan fanatik, aku hanya pembaca biasa. Penikmat sebuah goresan pena yang melegenda. Besar harapanku bahwa kamu mau belajar, bukan sekedar latah waktu mencipta karya.