Orang
di tempat ini sepertinya sedang terhipnotis. Hipnotis yang kemudian
menyebar seperti virus yang tak mampu dicegah. Dia yang berjalan
dengan cekikikan pun sedang mengayunkan sebuah novel dengan judul yang sedang
menjadi virus. Lain lagi dengan ia yang jelas-jelas aku tahu sangat malas
membaca novel, butuh banyak waktu katanya pun merayu untuk dipinjami.
Orang-orang mulai latah untuk mengagumi sosok penulis buku ini.
Suatu
ketika kawanku bertanya. “Kamu suka buku ini?” dengan tak acuh ku jawab “Ya.
Tetapi tidak terlalu, aku punya selera sendiri”. Dia tampak tersentak
mendengar ucapanku. Aku memang kurang menyukai gaya penuturan penulis yang dia
maksud. Jelas ku katakan pada kawanku itu supaya tak memaksakan diri bahwa aku
pura-pura terhipnotis juga.
Aku
pernah membaca karyanya. Tetapi tidak sampai pada halaman ke lima aku sudah
menutupnya. Enathlah, hal apa yang membuatku bersikap demikian. Gaya penuturan
yang digunakannya pun tidak jauh berbeda dengan penulis favoritku. Hanya saja,
tidak ada yang bisa aku hadirkan untuk membuat sebuah makna dari karyanya.
Rasa, barangkali itu tidak aku jumpai dalam karya penulis itu.
Dalam
sebuah tulisan bagus perlu rasa. Menulis bukan sekedar huruf yang dirangkai
berjajar kemudian meliukkan majas. Menulis butuh seni, menulis butuh banyak
memahami. Memahami pun tidak sekedar satu dua karya kemudian ketika kau menulis
memaksa orang lain menyukainya. Kau tahu mengapa aku tidak larut hipnotis itu?
karena aku punya pemahaman dan rasa tersendiri.
Aku
memang tidak pandai menulis. Aku masih belajar, belajar dari hal sederhana. Itu
sebabnya aku mulai membaca banyak buku dengan berbeda gaya penuturan, alur
maupun genrenya. Tidak masalah bagiku, dengan begitu aku lebih mudah memahami
diriku. Apa yang aku suka dan apa yang aku mau kembangkan.
Di
koridor kau sempat bergaung bahwa aku juga ingin seperti dia (baca: penulis).
Bahkan aku sudah mulai membuatnya dari sekarang. Aku yang berjarak 3 meter dari
tempatmu berdiri hanya bisa mengerjap dan kemudian memulih diam.
Kalau
menulis hanya sekedar meliukkan kata tanpa memperhatikan makna dan keteraturan
apa bisa ku sebut karya yang bagus? Jangan paksa aku memujimu. Terlalu
sederhana bukan berarti menghilangkan makna, kata yang sulit dipahami bukan
berarti karyamu bagus.
Aku
tidak meremehkan kemampuan siapapun, tetapi aku butuh waktu dan karya untuk
meyakinkanku. Aku berbaik sangka, aku tidak ingin membuatmu kecewa lantaran aku
bukan barisan orang yang memujimu.
Aku
berharap mereka juga mengenal Sapardi, N.H Dini, Buya Hamka, yangberjaya pada
zamannya pun zaman sekarang. Aku bukan fanatik, aku hanya pembaca biasa.
Penikmat sebuah goresan pena yang melegenda. Besar harapanku bahwa
kamu mau belajar, bukan sekedar latah waktu mencipta karya.